Prolog: jujur, tadinya saya yakin tidak perlu menuliskan ini. Tetapi setelah terlibat dialog panjang dan melihat pandangan-pandangan yang perlu diluruskan tentang aksi damai terbesar sepanjang sejarah yang dilakukan umat muslim pada tanggal 2/12 kemarin, saya malah jadi ingin menumpahkan perasaan saya…
.
AKSI 212 DAN MOMENTUM PERUBAHAN
.
Saya tidak ikut aksi 4/11. Why should I? Lagipula, saya harus mengikuti workshop yang menurut saya lebih penting daripada ikut aksi. Saya juga bukan simpatisan FPI. Mungkin sama seperti sebagian dari anda, buat saya FPI memiliki kesan horror.
.
Tapi setelah mendengar cerita-cerita dari sahabat, senior dan mereka yang berada di sana, pandangan saya berubah. Apalagi ketika menonton Aa Gym menyampaikan pendapatnya di ILC, berderai air mata saya dibuatnya.
.
Mungkin benar kata Aa Gym, yang tidak punya rasa tidak akan mengerti… Dan dosa-dosa yang saya lakukan selama ini telah mematikan rasa itu.
.
Kemudian, beredarlah kabar bahwa akan ada aksi tanggal 25/11 dan kabar-kabar lain yang tidak jelas asal-usulnya. Saya tidak ambil pusing. Paling juga hoax. Termasuk ajakan aksi 212. Walaupun setelah saya telusuri ternyata bukan hoax, tetap belum tertarik untuk ikut.
Sampai suatu ketika saya membaca Quran surat Al-Qalam yang berbunyi:
.
“Fadzarnii wa man yukadzdzibu bi haadza al-hadiitsi sanastadrijuhum min haitsu laa ya’lamuun. Wa umlii lahum. Innaa kaidii matiin.”
.
Entah mengapa, saya sangat tersentuh dengan ayat ini. Saya putuskan untuk membaca tafsirnya di kitab Al- Mishbah karya Prof. Quraish Shihab. Betapa terkejutnya saya membaca keterangan beliau.
.
Pertama, ungkapan ‘fadzarnii’ yang artinya “Maka serahkanlah kepada-Ku” bermakna sangat keras. Itu adalah ungkapan yang kurang-lebih semakna dengan ‘tinggalkanlah ia berdua denganku, aku sendiri yang akan mengurusnya secara langsung’. Demikian juga kurang-lebih tafsiran Ibnu Katsir ketika saya cross-check.
.
Siapakah objek dari ucapan tersebut? ‘wa man yukadzdzibu bi haadza al-hadiits’, sesiapa yang mendustakan perkataan ini (Al-Quran). Orang yang mendustakan Al-Quran bukan hanya sekadar tidak beriman, tetapi juga menyatakan (secara terang-terangan) bahwa Al-Quran adalah kebohongan.
.
Bagian kedua adalah bagian yang paling membuat saya merinding. Prof. Shihab menjelaskan bahwa akar kalimah ‘sanastadrijuhum’ berasal dari ‘ad-darj’ yang artinya ‘tingkatan’ (anda pasti mengenal istilah derajat, kan?). Sementara ungkapan ‘istidraj’ dimaknai sebagai hukuman yang diberikan secara bertahap atau berangsur-angsur.
.
Sebagai contoh kita melihat bahwa ada orang korupsi terus makin lama makin kaya. Lantas kita bertanya-tanya, kenapa Allah memberi dia rezeki yang tambah banyak padahal dia berbuat dosa (korupsi)? Maka, itulah istidraj, yaitu nikmat palsu atau menipu yang akan melipat-gandakan hukumannya kelak, bila dia tidak bertaubat.
.
Penggunaan huruf sin dan nun dalam ‘sanastadrijuhum’ menunjukkan penggunaan waktu yang akan datang (kelak) dan subjek jamak (kami). Sehingga, ‘sanastadrijuhum min haitsu laa ya’lamuun’ berarti, kelak akan Kami hukum mereka berangsur-angsur dari arah yang tidak mereka ketahui.
.
Di sinilah saya merinding. Dalam ayat sebelumnya, Allah menggunakan subjek tunggal ‘fadzarnii’ yang berarti ‘serahkanlah kepada-Ku’. Sementara di bagian kedua terdapat penggunaan subjek majemuk ‘sanastadrijuhum’ dalam menjalankan hukuman yang berangsur-angsur kepada pendusta Al-Quran.
.
Padahal Sayyid Quthub di Fii Zhilalil Quran-nya menyiratkan bahwa dalam mewujudkan sabda-Nya, Allah menggunakan ungkapan Kami untuk menunjukkan keterlibatan Nabi, sahabat, dan orang-orang beriman!
.
Lalu saya masuk di mana???
.
Saya menangis ketika menyadari hal ini…
.
Baiklah. Saya putuskan untuk ikut aksi 2/12. Bukan karena Habib Rizieq, Aa Gym, atau teman-teman saya. Tetapi karena saya berharap untuk menjadi bagian dari ‘Kami’-nya orang-orang yang menegakkan kalam Allah.
.
Pada bagian ketiga, lagi-lagi terdapat penggunaan subjek tunggal dalam kalimah ‘wa umlii lahum’, yang artinya: ‘dan Aku memberi tangguh/tenggat waktu kepada mereka’. Dilanjutkan dengan, ‘Innaa kaidii matiin’ ‘sesungguhnya rencana-Ku amat teguh/kokoh’. Dan hati mukmin mana yang tidak akan menjadi tenang dengan ayat tersebut?
.
Pada saat hari H, hati saya diliputi ketenangan yang tidak dapat dijelaskan, meskipun persiapan yang saya lakukan sangat seadanya. Tadinya saya sempat bingung mau naik moda transportasi apa menuju ke tempat aksi. Di awal saya pilih kereta, tapi karena punya feeling bakal terlalu padat, akhirnya saya nebeng sama teman sejawat (Bang Anas) yang berangkat dengan ambulance sebagai tim medis.
.
Persiapan mereka luar biasa. Pemilik Rumah Sakit bahkan turun lansung mendampingi dengan mobil pribadinya. Selain obat-obatan, mereka membawa nasi kotak dan air minum botol untuk dibagikan.Di sepanjang jalan, saya duduk di bagian belakang sambil bertugas menjaga agar tumpukan nasi kotak tidak jatuh berantakan. Hehehe…
.
Kemacetan sudah terasa saat mobil masih berada di tol. Lucunya, banyak di antar mobil-mobil yang terjebak macet berisikan rombongan keluarga dengan baju koko atau gamis putih-putih. Suasanya malah seperti wisata ruhani. Sudah dapat ditebak bahwa mereka juga peserta aksi.
.
Ketika menuju ke tempat aksi, saya bertemu dengan Bapak-Bapak berwajah ramah dari FPI. Ternyata mereka bertugas membagikan kaus bertuliskan Al-Maidah 51. Dengan sukacita kami menyambutnya. Stigma negatif saya tentang FPI perlahan menghilang.
.
Saat masih di jalan, langit sudah mendung tapi hujan belum turun. Ketika kami sampai, hujan rintik-rintik sudah mulai turun dan waktu zuhur sudah dekat.Yang menarik adalah, peserta aksi 212 tetap di tempatnya sambil mempersiapkan sholat Jumat. Ini berbeda dengan massa aksi buruh yang langsung mencari tempat berteduh. Saya merasa seperti anak kecil yang dibolehkan orang tuanya main hujan-hujanan, bergabung bersama jama’ah Jumat.
.
Massa berbaju putih sudah memenuhi area sehingga saya tidak bisa maju lagi mendekat ke arah Monas. Saya dan teman saya Siraj berabung di barisan paling belakang sambil menggelar sajadah. Kami bahkan kesulitan mendengar isi khutbah karena jauhnya dari sumber suara. Tetapi ketika Sholat Jum’at berlangsung, suara merdu sang Imam terdengar sampai menembus sanubari.
.
Pengalaman ini adalah pengalaman yang memberikan personal touch buat saya. Entah mengapa, yang teringat dalam benak saya ketika sang Imam membaca doa qunut adalah dosa-dosa saya yang tidak terhitung jumlahnya. Sungguh mengherankan. Berada di antara jutaan orang, tetapi rasanya seperti berdua saja dengan Rabb yang menurunkan hujan.
.
Ketika sang Imam membacakan doa rabithah/pengikat hati, sontak saya merasakan kerinduan yang menggelegak akan persatuan umat. Bayangkan, jutaan orang berbaris rapi dalam shaf, hanya dikomando lewat adzan dan iqomah. Berkumpul dari penjuru nusantara. Bukankah itu hebat sekali???
.
Setelah sholat selesai, jama’ah secara teratur beranjak pulang. Kami memulai tugas kami sebagai juru medis dan membagikan bekal. Ada kejadian lucu ketika membagikan makanan. Nasi kotak kami sebenarnya dipasangkan dengan kerupuk. Eh, tapi kerupuknya lupa dibagikan. Ketika nasi kotaknya habis jadilah kami membagikan kerupuk saja tanpa ditemani nasi. Alhamdulillah semuanya habis tiada yang mubadzir. Hehe…
.
Saya rasa, banyak yang hadir saat itu juga merasakan bahwa aksi 212 adalah sebuah pengalaman spiritual yang menggetarkan hati. Muatan politis? Aksi berbayar? Rencana makar? Saya merasakan sendiri bahwa yang hadir di sana disatukan oleh tiga hal: ghirah akibat aksi penistaan agama, hasrat untuk menuntut agar keadilan ditegakkan, dan keinginan yang kuat untuk bersilaturahim.
.
Tidak ada parpol atau politisi manapun yang akan mampu mendatangkan massa sedemikian besar. Jangankan aksi berbayar, peserta justru malah berlomba-lomba menyediakan makanan, minuman, jasa pijat, dan baju kepada sesama partisipan. Makar? Rasanya kita tidak perlu repot-repot berpikir ke arah sana.
.
Ini semua gara-gara Ahok? Salah besar. Bahkan seandainya Gubernur DKI adalah orang kuper yang hobinya nyinyir di facebook (yang kadang-kadang komentar nyelekitnya mampir di wall kita) lantas melakukan kesalahan yang sama, niscaya dia akan menghadapi kondisi serupa.
.
Sejatinya, Ahok tidak memiliki apapun untuk mendatangkan massa sebesar ini. Justru orang-orang seperti Habib Rizieq, Aa Gym, Arifin Ilham, (jangan lupakan Ciamis!) dan para pembicara lainnya yang patut diacungi jempol. Ust HR dihina oleh sebagian umat non-muslim (kebanyakan atheis) dan bahkan sebagian umat muslim sendiri. Tapi tetap saja tidak menyurutkan langkah orang-orang untuk bergabung di sana. Sejujurnya saya malu ketika Ust HR dihina tapi saya lebih sering diam…
.
Aksi 212 adalah momentum perubahan yang saya harap-harap dalam doa saya setiap hari untuk menebus dosa-dosa yang telah saya lakukan. Sungguh benar kata-kata Aa Gym, kita tidak dihina orang karena Allah masih menutupi aib-aib kita. Dan bahwa yang tidak punya rasa tidak akan mengerti.
.
Jika sampai saat ini, kita masih belum mengerti rasanya, semoga suatu saat nanti hidayah datang kepada kita. Agar kita lebih mencintai Quran. Agar kita lebih mengasihi sesama muslim. Dan agar kita termasuk golongan orang-orang yang dipersatukan kelak di Jannah-Nya. Aamiin.
.
Epilog: Teman saya, Siraj, nyeletuk: "Itu imamnya siapa sih? kok qunut-nya panjang banget?" Lalu Bang Anas menjawab kalem: "Iya, Abah, memang kalau qunut bisa lima belas menit sendiri..." Rupanya sang imam adalah mertua Bang Anas, Ust. Nasir Zein, pengasuh pondok pesantren Rafah, Bogor. Bayangkan, mengimami sholat Jumat jutaan orang di tengah Jakarta yang ditemani rintik hujan. Semoga Allah memberkahi kita dengan para Ulama yang dirahmati. aamiin.
.
Desember 2016
Eka Nugraha

.
AKSI 212 DAN MOMENTUM PERUBAHAN
.
Saya tidak ikut aksi 4/11. Why should I? Lagipula, saya harus mengikuti workshop yang menurut saya lebih penting daripada ikut aksi. Saya juga bukan simpatisan FPI. Mungkin sama seperti sebagian dari anda, buat saya FPI memiliki kesan horror.
.
Tapi setelah mendengar cerita-cerita dari sahabat, senior dan mereka yang berada di sana, pandangan saya berubah. Apalagi ketika menonton Aa Gym menyampaikan pendapatnya di ILC, berderai air mata saya dibuatnya.
.
Mungkin benar kata Aa Gym, yang tidak punya rasa tidak akan mengerti… Dan dosa-dosa yang saya lakukan selama ini telah mematikan rasa itu.
.
Kemudian, beredarlah kabar bahwa akan ada aksi tanggal 25/11 dan kabar-kabar lain yang tidak jelas asal-usulnya. Saya tidak ambil pusing. Paling juga hoax. Termasuk ajakan aksi 212. Walaupun setelah saya telusuri ternyata bukan hoax, tetap belum tertarik untuk ikut.
Sampai suatu ketika saya membaca Quran surat Al-Qalam yang berbunyi:
.
“Fadzarnii wa man yukadzdzibu bi haadza al-hadiitsi sanastadrijuhum min haitsu laa ya’lamuun. Wa umlii lahum. Innaa kaidii matiin.”
.
Entah mengapa, saya sangat tersentuh dengan ayat ini. Saya putuskan untuk membaca tafsirnya di kitab Al- Mishbah karya Prof. Quraish Shihab. Betapa terkejutnya saya membaca keterangan beliau.
.
Pertama, ungkapan ‘fadzarnii’ yang artinya “Maka serahkanlah kepada-Ku” bermakna sangat keras. Itu adalah ungkapan yang kurang-lebih semakna dengan ‘tinggalkanlah ia berdua denganku, aku sendiri yang akan mengurusnya secara langsung’. Demikian juga kurang-lebih tafsiran Ibnu Katsir ketika saya cross-check.
.
Siapakah objek dari ucapan tersebut? ‘wa man yukadzdzibu bi haadza al-hadiits’, sesiapa yang mendustakan perkataan ini (Al-Quran). Orang yang mendustakan Al-Quran bukan hanya sekadar tidak beriman, tetapi juga menyatakan (secara terang-terangan) bahwa Al-Quran adalah kebohongan.
.
Bagian kedua adalah bagian yang paling membuat saya merinding. Prof. Shihab menjelaskan bahwa akar kalimah ‘sanastadrijuhum’ berasal dari ‘ad-darj’ yang artinya ‘tingkatan’ (anda pasti mengenal istilah derajat, kan?). Sementara ungkapan ‘istidraj’ dimaknai sebagai hukuman yang diberikan secara bertahap atau berangsur-angsur.
.
Sebagai contoh kita melihat bahwa ada orang korupsi terus makin lama makin kaya. Lantas kita bertanya-tanya, kenapa Allah memberi dia rezeki yang tambah banyak padahal dia berbuat dosa (korupsi)? Maka, itulah istidraj, yaitu nikmat palsu atau menipu yang akan melipat-gandakan hukumannya kelak, bila dia tidak bertaubat.
.
Penggunaan huruf sin dan nun dalam ‘sanastadrijuhum’ menunjukkan penggunaan waktu yang akan datang (kelak) dan subjek jamak (kami). Sehingga, ‘sanastadrijuhum min haitsu laa ya’lamuun’ berarti, kelak akan Kami hukum mereka berangsur-angsur dari arah yang tidak mereka ketahui.
.
Di sinilah saya merinding. Dalam ayat sebelumnya, Allah menggunakan subjek tunggal ‘fadzarnii’ yang berarti ‘serahkanlah kepada-Ku’. Sementara di bagian kedua terdapat penggunaan subjek majemuk ‘sanastadrijuhum’ dalam menjalankan hukuman yang berangsur-angsur kepada pendusta Al-Quran.
.
Padahal Sayyid Quthub di Fii Zhilalil Quran-nya menyiratkan bahwa dalam mewujudkan sabda-Nya, Allah menggunakan ungkapan Kami untuk menunjukkan keterlibatan Nabi, sahabat, dan orang-orang beriman!
.
Lalu saya masuk di mana???
.
Saya menangis ketika menyadari hal ini…
.
Baiklah. Saya putuskan untuk ikut aksi 2/12. Bukan karena Habib Rizieq, Aa Gym, atau teman-teman saya. Tetapi karena saya berharap untuk menjadi bagian dari ‘Kami’-nya orang-orang yang menegakkan kalam Allah.
.
Pada bagian ketiga, lagi-lagi terdapat penggunaan subjek tunggal dalam kalimah ‘wa umlii lahum’, yang artinya: ‘dan Aku memberi tangguh/tenggat waktu kepada mereka’. Dilanjutkan dengan, ‘Innaa kaidii matiin’ ‘sesungguhnya rencana-Ku amat teguh/kokoh’. Dan hati mukmin mana yang tidak akan menjadi tenang dengan ayat tersebut?
.
Pada saat hari H, hati saya diliputi ketenangan yang tidak dapat dijelaskan, meskipun persiapan yang saya lakukan sangat seadanya. Tadinya saya sempat bingung mau naik moda transportasi apa menuju ke tempat aksi. Di awal saya pilih kereta, tapi karena punya feeling bakal terlalu padat, akhirnya saya nebeng sama teman sejawat (Bang Anas) yang berangkat dengan ambulance sebagai tim medis.
.
Persiapan mereka luar biasa. Pemilik Rumah Sakit bahkan turun lansung mendampingi dengan mobil pribadinya. Selain obat-obatan, mereka membawa nasi kotak dan air minum botol untuk dibagikan.Di sepanjang jalan, saya duduk di bagian belakang sambil bertugas menjaga agar tumpukan nasi kotak tidak jatuh berantakan. Hehehe…
.
Kemacetan sudah terasa saat mobil masih berada di tol. Lucunya, banyak di antar mobil-mobil yang terjebak macet berisikan rombongan keluarga dengan baju koko atau gamis putih-putih. Suasanya malah seperti wisata ruhani. Sudah dapat ditebak bahwa mereka juga peserta aksi.
.
Ketika menuju ke tempat aksi, saya bertemu dengan Bapak-Bapak berwajah ramah dari FPI. Ternyata mereka bertugas membagikan kaus bertuliskan Al-Maidah 51. Dengan sukacita kami menyambutnya. Stigma negatif saya tentang FPI perlahan menghilang.
.
Saat masih di jalan, langit sudah mendung tapi hujan belum turun. Ketika kami sampai, hujan rintik-rintik sudah mulai turun dan waktu zuhur sudah dekat.Yang menarik adalah, peserta aksi 212 tetap di tempatnya sambil mempersiapkan sholat Jumat. Ini berbeda dengan massa aksi buruh yang langsung mencari tempat berteduh. Saya merasa seperti anak kecil yang dibolehkan orang tuanya main hujan-hujanan, bergabung bersama jama’ah Jumat.
.
Massa berbaju putih sudah memenuhi area sehingga saya tidak bisa maju lagi mendekat ke arah Monas. Saya dan teman saya Siraj berabung di barisan paling belakang sambil menggelar sajadah. Kami bahkan kesulitan mendengar isi khutbah karena jauhnya dari sumber suara. Tetapi ketika Sholat Jum’at berlangsung, suara merdu sang Imam terdengar sampai menembus sanubari.
.
Pengalaman ini adalah pengalaman yang memberikan personal touch buat saya. Entah mengapa, yang teringat dalam benak saya ketika sang Imam membaca doa qunut adalah dosa-dosa saya yang tidak terhitung jumlahnya. Sungguh mengherankan. Berada di antara jutaan orang, tetapi rasanya seperti berdua saja dengan Rabb yang menurunkan hujan.
.
Ketika sang Imam membacakan doa rabithah/pengikat hati, sontak saya merasakan kerinduan yang menggelegak akan persatuan umat. Bayangkan, jutaan orang berbaris rapi dalam shaf, hanya dikomando lewat adzan dan iqomah. Berkumpul dari penjuru nusantara. Bukankah itu hebat sekali???
.
Setelah sholat selesai, jama’ah secara teratur beranjak pulang. Kami memulai tugas kami sebagai juru medis dan membagikan bekal. Ada kejadian lucu ketika membagikan makanan. Nasi kotak kami sebenarnya dipasangkan dengan kerupuk. Eh, tapi kerupuknya lupa dibagikan. Ketika nasi kotaknya habis jadilah kami membagikan kerupuk saja tanpa ditemani nasi. Alhamdulillah semuanya habis tiada yang mubadzir. Hehe…
.
Saya rasa, banyak yang hadir saat itu juga merasakan bahwa aksi 212 adalah sebuah pengalaman spiritual yang menggetarkan hati. Muatan politis? Aksi berbayar? Rencana makar? Saya merasakan sendiri bahwa yang hadir di sana disatukan oleh tiga hal: ghirah akibat aksi penistaan agama, hasrat untuk menuntut agar keadilan ditegakkan, dan keinginan yang kuat untuk bersilaturahim.
.
Tidak ada parpol atau politisi manapun yang akan mampu mendatangkan massa sedemikian besar. Jangankan aksi berbayar, peserta justru malah berlomba-lomba menyediakan makanan, minuman, jasa pijat, dan baju kepada sesama partisipan. Makar? Rasanya kita tidak perlu repot-repot berpikir ke arah sana.
.
Ini semua gara-gara Ahok? Salah besar. Bahkan seandainya Gubernur DKI adalah orang kuper yang hobinya nyinyir di facebook (yang kadang-kadang komentar nyelekitnya mampir di wall kita) lantas melakukan kesalahan yang sama, niscaya dia akan menghadapi kondisi serupa.
.
Sejatinya, Ahok tidak memiliki apapun untuk mendatangkan massa sebesar ini. Justru orang-orang seperti Habib Rizieq, Aa Gym, Arifin Ilham, (jangan lupakan Ciamis!) dan para pembicara lainnya yang patut diacungi jempol. Ust HR dihina oleh sebagian umat non-muslim (kebanyakan atheis) dan bahkan sebagian umat muslim sendiri. Tapi tetap saja tidak menyurutkan langkah orang-orang untuk bergabung di sana. Sejujurnya saya malu ketika Ust HR dihina tapi saya lebih sering diam…
.
Aksi 212 adalah momentum perubahan yang saya harap-harap dalam doa saya setiap hari untuk menebus dosa-dosa yang telah saya lakukan. Sungguh benar kata-kata Aa Gym, kita tidak dihina orang karena Allah masih menutupi aib-aib kita. Dan bahwa yang tidak punya rasa tidak akan mengerti.
.
Jika sampai saat ini, kita masih belum mengerti rasanya, semoga suatu saat nanti hidayah datang kepada kita. Agar kita lebih mencintai Quran. Agar kita lebih mengasihi sesama muslim. Dan agar kita termasuk golongan orang-orang yang dipersatukan kelak di Jannah-Nya. Aamiin.
.
Epilog: Teman saya, Siraj, nyeletuk: "Itu imamnya siapa sih? kok qunut-nya panjang banget?" Lalu Bang Anas menjawab kalem: "Iya, Abah, memang kalau qunut bisa lima belas menit sendiri..." Rupanya sang imam adalah mertua Bang Anas, Ust. Nasir Zein, pengasuh pondok pesantren Rafah, Bogor. Bayangkan, mengimami sholat Jumat jutaan orang di tengah Jakarta yang ditemani rintik hujan. Semoga Allah memberkahi kita dengan para Ulama yang dirahmati. aamiin.
.
Desember 2016
Eka Nugraha
